Jumat, 30 November 2012

Konsep Tri Hita Karana dalam Mewujudkan Ajeg Bali





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bagaikan “manik ring cacupu”, bagaikan bayi dalam kandungan, jika kandungannya tidak terawat dengan baik, maka bayinya akan celaka juga. Demikian juga kita. Kita  mesti merawat lingkungan tempat tinggal kita dengan baik agar ia mampu menyediakan kondisi yang baik untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan kita (Dalem :2007). Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kehidupan ini tidak pernah terlepas dari perubahan. setiap kehidupan akan membawa perubahan karena perubahan adalah bagian dari pada kehidupan. Demikian juga yang kita rasakan sekarang ini di Bali, telah banyak perubahan yang terjadi. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan (rwa bhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala) dan kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri. Kebudayaan. Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
Menurut orang Bali masa lalu (athita), masa kini (anaghata) dan masa yang akan datang (warthamana) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang.  Fenomena paradok ini juga dikemukakan oleh Naisbitt dan Aburdene (1990:107) yang disebutnya sebagai sikap penolakan (countertrend) terhadap pengaruh kebudayaan global (budaya asing) sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan bahasa sendiri. Triguna (2004) mengatakan bahwa watak orang Bali telah berubah secara signifikan dalam dekade terakhir ini. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan oleh Baterson. Demikian pula orang Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. Perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan fisik yakni alih fungsi lahan. Budaya agraris yang semula menjadi landaskan kehidupan budaya dan masyarakat Bali kini berubah menjadi budaya yang berorientasi kepada jasa dalam kaitannya dengan industri pariwisata. Berbagai konsep dalam kebudayaan Bali seperti Rwa Bhineda, Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, dan nyama braya dalam kebudayaan Bali perlu dipahami sehingga dapat dipakai landasan untuk hidup saling berdampingan dengan etnik lain. Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas yang mengedepankan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam perlu disosialisasikan dan diejawantakan dalam kehidupan riil. Di masyarakat kita kini muncul berbagai penyakit keterasingan (alienasi) antara lain; Alienasi ekologis, manusia secara mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan penuh kerakusan dan tanpa menghiraukan kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang.
Sikap toleransi dan saling menghormati antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain merupakan dasar yang sangat penting untuk mewujudkan gagasan tersebut. Nilai-nilai dasar yang bersumber kepada agama serta kearifan lokal merupakan benteng untuk memperkuat jati diri dalam menghadapi arus budaya global yang cenderung bersifat sekuler dan materialistis. Dukungan politik dan kemauan pemerintah sangat diperlukan dalam upaya menggali, menemukan kembali, dan revitalisasi kearifan lokal agar selaras dengan pembangunan jati diri bangsa. Era globalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi tidak dapat dihindari terhadap kebudayaan Bali dan etnik lain di indonesia.
Sejak dua-tiga tahun belakangan ini, di Bali dimunculkan sebuah ikon Ajeg Bali yang mempertegas lagi batas-batas penanda identitas antara apa yang disebut sebagai “Bali” dan bukan Bali. Ikon ini berdampak luar biasa dalam ruang kesadaran orang Bali. Banyak kalangan berharap konsep ajeg Ajeg Bali yang digaungkan belakangan ini diharapkan mampu menjaga identitas kebalian orang bali dan segala yang berhubungan dengan Bali itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran dan pemaparan realitas diatas penulis mencoba untuk meretas pemikiran konsep Tri Hita Karana dalam Mewujudkan Ajeg Bali.
 
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirmuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apa itu Tri Hita Karana
2.    Apa itu Ajeg Bali
3.    Bagaimana Mewujudkan Ajeg Bali melalui Tri Hita Karana

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1     Untuk mengetahui apa itu Tri Hita Karana
2     Untuk mengetahui apa itu Ajeg Bali
3     Untuk mengetahui bagaimana Mewujudkan Ajeg Bali melalui Tri Hita Karana
 
BAB II
Pembahasan

2.1 Konsep Tri Hita Karana
A.Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat. Tri Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia.
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
  1. Manusia dengan Tuhannya.
  2. Manusia dengan alam lingkungannya.
  3. Manusia dengan sesamanya.
Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Dengan demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok,yakni :wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah maupun bathiniah. Menurut Wiana (2004:141) falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III.10, meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana, dalam kitab tersebut  dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena iti manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada lingkungannya (Kamadhuk).
           B. Penerapan Tri Hita Karana
Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat,adalah sebagai berikut:
1.    Bhuana dan Karang Desa. (Palemahan)
Bhuana adalah alam semesta. Karang Desa adalah wilayah territorial dari suatu desa adat yang telah ditentukan secara definitif batas kewilayahannya dengan suatu upacara adat keagamaan
2.    Kerama Desa Adat (Pawongan)
Yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah desa adat yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat dan dibantu oleh prajuru (aparatur) desa adat lainnya seperti kelompok-kelompok Mancagra, Mancakriya dan pemangku bersama-sama  masyarakat desa membangun keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
3.    Tempat Suci (Parahyangan)
       Adalah tempat untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Widhi sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari. Tempat pemujaan ini diwujudnyatakan dalam bentuk Pura Kayangan Tiga. Setiap desa adat di Bali wajib memilikinya.. Pura Kayangan Tiga itu adalah : Pura Desa,Pura Puseh,Pura Dalem.Pura Kahyangan Tiga di desa adat di Bali seolah-olah merupakan jiwa dari Karang Desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
a.    Parahyangan
·         Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat
·         Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
·         Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga
b.    Palemahan
·         Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
·         Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung
·         Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
c.    Pawongan
·         Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
·         Untuk di desa adat meliputi krama desa adat
·         Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga
C. Manfaat Tri Hita Karana dalam Kehidupan
Dalam Rangka Melestarikan Lingkungan Hidup di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana. Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, maupun berorganisasi.
Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluargganya.Setiap keluarga menempati Karang Ayahan Desa, yang disebut karang sikut satak. Disinilah setiap KK bebas mengatur keluarganya. Pola Kehidupan mereka tank lepas dari pola Tri Hita Karana, hal ini dapat dilihat dari Karang  Sikut  Satak yang ditempati. Secara umum penempatan bangunan di karang itu berpolakan: Utama Mandala, tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur, letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan. Madya Mandala tempat untuk membangun rumah, Balai Delod, Dapur, Kamar Mandi, Lumbung dan bangunan lainnya.
Nista Mandala tempat membangun Kori Agung,Candi Bentar, Angkul-angkul tempat masuk ke pekarangan sikut satak. Di luar pekarangan sikut satak namanya teba. Di teba inilah tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman seperti kelapa, pisang, nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis. Di tempat ini pula anggota keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam, itik, kambing dan peliharanaan lainnya, sebagai wujud pelestarian lingkungan. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berkiblat kepada ajaran dari falsafah Tri Hita Karana, dan telah tercermin dalam hidup harmonis di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, bahkan terhadap para wisatawan yang berkunjung ke Bali.  

2.2 Konsep Ajeg Bali
Secara harfiah, kata “ajeg” bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau disandingkan, kata “ajeg” dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah. Menurut  Wijaya dalam penelitiannya  “Ajeg Bali” merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas kebalian orang Bali, yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan, yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. Ajeg Bali adalah upaya sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan berbicara oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga kebudayaan Bali. Menurut Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan “Ajeg Bali”, di antaranya diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif, desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse. pemikiran tentang “Ajeg Bali” bukan berlandaskan pada realitas ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan bersifat artifisial dan ahistoris yang mengakibatkan terjadinya pertemuan timbal balik dan dialektis antara intelektual dan masyarakat. Padahal, penataan Bali semestinya dilakukan dengan cara terlebih dahulu mengganti sistem kebudayaan Bali dari yang berorientasi ke masa lampau menjadi ke masa depan.
Beberapa praktisi agama dan rohaniwan Hindu yang concern dan komit terhadap ajaran Hindu yang lebih universal, misalnya, memberikan makna ajeg Bali atau Ajeg Hindu sebagai upaya pemurnian pelaksanaan ajaran Hindu yang bersumber dari Weda dengan menekankan pada jiwa ajeg Bali atau inner power agama Hindu itu sendiri, yaitu tapas, yadnya, dan dharma (Agastya, 2004) dalam Kertih dan Sukadi. Tidak jauh berbeda dari pandangan ini. Menurut Seita (2004) dalam Kertih dan Sukadi, sebagai pengamat sosial, budaya, dan agama Hindu Bali yang berdomisili di Jakarta, menyatakan bahwa konsep ajeg Bali haruslah memiliki makna sebagai lestarinya agama Hindu yang lebih universal, yang bersumber dari ajaran Weda. Tidak ketinggalan, para seniman dan budayawan besar Bali juga berkomentar bahwa ajeg Bali harus dimaknai sebagai upaya pengembangan kehidupan berkesenian orang Bali sebagai inti persembahan kepada kemegahan dan keindahan Tuhan yang memungkinkan orang Bali Hindu berkereativitas dalam pengembangan budaya untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri cultural (cultural confidence) (Erawan, 2004; Geriya, 2004) dalam Kertih dan Sukadi.

2.3 Budaya Bali
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.
Selain itu kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
2.3.1 Unsur – Unsur Budaya Bali
A. Bahasa
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

B. Pengetahuan
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
           C. Teknologi
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang sistem pengairan yaitu sistem subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
D. Organisasi Sosial
a). Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
 b). Kekerabatan
Adat menetap di Bali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku di Bali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada tiga (3) kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
c). Kemasyarakatan
Desa sebagai suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
E. Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.
 F. Religi
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin. Orang Hindu percaya dengan adanya satu (1) Tuhan. Manifestasi Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sanggah. Kitab suci agama Hindu adalah Weda.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat
agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
G. Kesenian
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan menjadi tiga (3)  golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.
2.3.2 Nilai-Nilai Budaya Bali
      1. Tata krama :
kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
      2.  Nguopin :
gotong royong.
2.   Ngayah atau ngayang :
kerja bakti untuk keperluan agama.
4.  Sopan santun :
    adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang
berbeda jenis kelamin (laki/perempuan)

2.4 Mewujudkan Ajeg Bali Melalui Tri Hita Karana
Beragam pendapat masyarakat Bali terhadap kondisi Bali yang sekarang terjadi akibat perkembangan arus globalisasi yang begitu pesat. Sebagian beranggapan bahwa globalisasi merupakan “polusi kebudayaan” yang akan mengikis ke-Bali-an Bali. Dengan adanya pengaruh globalisasi yang begitu deras hingga konsep “ajeg Bali” muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai respon terhadap perubahan yang muncul di masyarakat berkat kemajuan teknologi. Istilah “ajeg” merujuk kepada pengertian stabil , tetap, dan konstan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) disebutkan bahwa “ajeg” atau “ajek” (Jawa) bermakna tetap; tidak berubah. Satu hal yang tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Yang ingin dipertahanakan oleh masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu yang menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali. Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan keemasan, namun esensinya harus tetap bertahan.
            Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya, niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan, misalnya, dilakukan “sterilisasi” wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk melestarikan kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur, ditanamkan semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg Bali. Di sekolah perlu dikembangkan program pendidikan yang dapat memberdayakan siswa dalam ikut berpartisipasi mewujudkan nilai-nilai “Tri hita Karana”  dalam hubungannya dengan bagaimana menjaga Bali sekarang dan kedepan karena mereka nanti sebagai pewaris tanah Bali.  Kesadaran itu penting karena Bali yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik. Faktanya tanah Bali yang merupakan bagaian dari tanah adat makin banyak berpindah tangan. Jumlah pendatang (terutama dari Jawa) semakin menjadi ancaman, peluang kerja orang Jawa cukup banyak sementara masyarakat Bali sibuk dengan banyaknya upacara, orang Jawa mengambil alih waktu-waktu tersebut di sektor ekonomi.
            Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga konsep tersebut adalah Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu dalam tataran individu ; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata. Kedua, dalam tataran lingkungan kultural; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar. Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), non-dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebuah konsep yang stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global. 
Tradisi budaya Bali tidak bisa dipisahkan dengan Agama Hindu. Sebelumnya harus dipisahkan soal “adat keagamaan” dan “adat kebiasaan”. Sayangnya keseluruhan hidup masyarakat Bali, termasuk adat kebiasaan, merupakan bentuk representasi dari agama Hindu, sehingga sulit sekali untuk membedakan sakral dan profan. Dalam tari-tarian, dapat dipisahkan secara jelas terdapat seni tari wali yang sakral dan religius, seni tari Bebali adalah tarian seremonial, dan seni tari Balih-balihan yang sekuler. Pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Kalau kita berpikir sederhana, selama ada canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga dan dupa), nilai-nilai agama hindu yang merupakan core of the culture, akan tetap bernafas tenang dalam kehidupan manusia Bali.

BAB III
Penutup
 
3.1 Kesimpulan
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam ajaran “Tri Hita Karana”. Penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana secara sadar, dinamis, dan penuh dengan komitmen akan terbangun proses  hubungan kehidupan yang seimbang dan harmonis menuju tatanan kehidupan yang Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera lahir dan bhatin yang bermuara pada ajeg Bali.

3.2 Saran
            Untuk menjaga Bali tetap Ajeg, maju, damai, sejahtrera dan tetap eksis sepanjang zaman diharapkan adanya komitmen yang kuat dari semua komponen masyarakat Bali dengan berlandaskan konsep “ Tri Hita Karana” untuk menjaga dan mengajegkan Bali, karena Bali bukan milik orang yang hidup sekarang di Bali tapi lebih dari semua itu, Bali adalah titipan dari Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) untuk anak cucu (keturanan) kita kelak nanti.

Oleh :
I Putu Kusuma Wardana
Mahasiswa Program Pascasarjana Undiksha
Tenaga Pengajar di Sekolah Laboratorium Undiksha Singaraja 

DAFTAR PUSTAKA

Dalem, A.A.G Raka (2007). Sistem Manajeman Lingkungan, Tri Hita Karana dan Implementasinya Pada Hotel. Jurnal Penelitian UNUD

Kertih dan Sukadi. (2007). Konsep Ajeg Bali (Hindu) Berbasis Ideologi    Trihita Karana Dimaknai Di Lingkungan Sekolah.
(Studi Etnografi Pendidikan pada SMA Negeri 1 Ubud Bali
sebagai Model SMA Berwawasan Hindu) .Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora Undiksha

Prabhavananda, Swami. (2006) (alih bahasa oleh I Nyoman Ananda). Agama Veda dan Filsafat. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. (2004). Mengapa Bali disebut Bali ?. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. (2004). Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Pustaka Manik Geni.

Widana, I Gusti Ketut. (2002). Mengenal Budaya Hindu di Bali. Denpasar: PT. BP Denpasar.

________, www.google.co.id