BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bagaikan “manik ring cacupu”, bagaikan bayi dalam
kandungan, jika kandungannya tidak terawat dengan baik, maka bayinya akan
celaka juga. Demikian juga kita. Kita mesti merawat lingkungan tempat tinggal kita
dengan baik agar ia mampu menyediakan kondisi yang baik untuk menunjang dan
memenuhi kebutuhan kita (Dalem :2007). Bali dengan masyarakat dan budaya yang
unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian
masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal
menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang.
Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan
panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa kehidupan ini tidak pernah terlepas dari perubahan.
setiap kehidupan akan membawa perubahan karena perubahan adalah bagian dari
pada kehidupan. Demikian juga yang kita rasakan sekarang ini di Bali, telah
banyak perubahan yang terjadi. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh
nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya
perbedaaan (rwa bhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa),
waktu (kala) dan kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, dan patra
menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan
mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa
komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India
(Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan
kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Proses akulturasi
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif
khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan
jati diri. Kebudayaan. Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan
(parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan
lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam filosofi Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan).
Menurut orang Bali masa lalu
(athita), masa kini (anaghata) dan masa yang akan datang (warthamana) merupakan
suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan
manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan
perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Fenomena paradok ini juga dikemukakan oleh
Naisbitt dan Aburdene (1990:107) yang disebutnya sebagai sikap penolakan
(countertrend) terhadap pengaruh kebudayaan global (budaya asing) sehingga
timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan bahasa sendiri. Triguna
(2004) mengatakan bahwa watak orang Bali telah berubah secara signifikan dalam
dekade terakhir ini. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang
lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan oleh Baterson.
Demikian pula orang Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang
temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus.
Perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan fisik yakni
alih fungsi lahan. Budaya agraris yang semula menjadi landaskan kehidupan
budaya dan masyarakat Bali kini berubah menjadi budaya yang berorientasi kepada
jasa dalam kaitannya dengan industri pariwisata. Berbagai konsep dalam
kebudayaan Bali seperti Rwa Bhineda, Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, dan nyama
braya dalam kebudayaan Bali perlu dipahami sehingga dapat dipakai landasan
untuk hidup saling berdampingan dengan etnik lain. Kearifan-kearifan lokal
tersebut di atas yang mengedepankan hubungan yang harmonis dan seimbang antara
manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam perlu disosialisasikan
dan diejawantakan dalam kehidupan riil. Di masyarakat kita kini muncul berbagai
penyakit keterasingan (alienasi) antara lain; Alienasi ekologis, manusia secara
mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan penuh
kerakusan dan tanpa menghiraukan kelangsungan hidup di masa depan bagi semua
orang.
Sikap toleransi dan saling
menghormati antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain merupakan dasar
yang sangat penting untuk mewujudkan gagasan tersebut. Nilai-nilai dasar yang
bersumber kepada agama serta kearifan lokal merupakan benteng untuk memperkuat
jati diri dalam menghadapi arus budaya global yang cenderung bersifat sekuler
dan materialistis. Dukungan politik dan kemauan pemerintah sangat diperlukan
dalam upaya menggali, menemukan kembali, dan revitalisasi kearifan lokal agar
selaras dengan pembangunan jati diri bangsa. Era globalisasi yang dicirikan
oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh
media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin
(financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi tidak dapat
dihindari terhadap kebudayaan Bali dan etnik lain di indonesia.
Sejak dua-tiga tahun
belakangan ini, di Bali dimunculkan sebuah ikon Ajeg Bali yang mempertegas lagi
batas-batas penanda identitas antara apa yang disebut sebagai “Bali” dan bukan
Bali. Ikon ini berdampak luar biasa dalam ruang kesadaran orang Bali. Banyak
kalangan berharap konsep ajeg Ajeg Bali yang digaungkan belakangan ini
diharapkan mampu menjaga identitas kebalian orang bali dan segala yang
berhubungan dengan Bali itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran dan pemaparan
realitas diatas penulis mencoba untuk meretas pemikiran konsep Tri Hita Karana
dalam Mewujudkan Ajeg Bali.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirmuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa
itu Tri Hita Karana
2. Apa
itu Ajeg Bali
3. Bagaimana
Mewujudkan Ajeg Bali melalui Tri Hita Karana
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1 Untuk
mengetahui apa itu Tri Hita Karana
2 Untuk
mengetahui apa itu Ajeg Bali
3 Untuk
mengetahui bagaimana Mewujudkan Ajeg Bali melalui Tri Hita Karana
BAB
II
Pembahasan
2.1 Konsep Tri Hita Karana
A.Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana
pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan
Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan
Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat
Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju
masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah
Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat. Tri Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan
Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana
adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup
manusia.
Secara
leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita
= sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung
pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan
antara:
- Manusia dengan Tuhannya.
- Manusia dengan alam lingkungannya.
- Manusia dengan sesamanya.
Konsep ini muncul berkaitan
erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini
muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Dengan
demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur
pokok,yakni :wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang
Widhi. Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk
terciptanya rasa hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah maupun
bathiniah. Menurut Wiana (2004:141) falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana
ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III.10, meskipun
dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana, dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya
menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena iti manusia (Praja)
hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan
kepada lingkungannya (Kamadhuk).
B. Penerapan Tri Hita Karana
Adapun bidang garapan Tri
Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat,adalah sebagai berikut:
1.
Bhuana dan
Karang Desa. (Palemahan)
Bhuana adalah
alam semesta. Karang Desa adalah
wilayah territorial dari suatu desa adat yang telah ditentukan secara definitif
batas kewilayahannya dengan suatu upacara adat keagamaan
2. Kerama Desa Adat (Pawongan)
Yaitu kelompok manusia yang
bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah desa adat yang dipimpin oleh
seorang Bendesa Adat dan
dibantu oleh prajuru (aparatur)
desa adat lainnya seperti kelompok-kelompok Mancagra, Mancakriya dan pemangku
bersama-sama masyarakat desa
membangun keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
3. Tempat
Suci (Parahyangan)
Adalah tempat
untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Widhi sebagai pujaan bersama
yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari. Tempat pemujaan
ini diwujudnyatakan dalam bentuk Pura
Kayangan Tiga. Setiap desa adat di Bali wajib memilikinya.. Pura
Kayangan Tiga itu adalah : Pura
Desa,Pura Puseh,Pura Dalem.Pura Kahyangan Tiga di desa adat di Bali
seolah-olah merupakan jiwa dari Karang
Desa yang tak terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.
Penerapan
Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam
perwujudan:
a. Parahyangan
·
Parahyangan
untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat
·
Di
tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
·
Di
tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga
b. Palemahan
·
Pelemahan
di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
·
Di
tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung
·
Di
tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
c. Pawongan
·
Pawongan
untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
·
Untuk
di desa adat meliputi krama desa adat
·
Tingkat
keluarga meliputi seluruh anggota keluarga
C. Manfaat Tri Hita Karana
dalam Kehidupan
Dalam Rangka Melestarikan
Lingkungan Hidup di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya
menganut pola Tri Hita Karana. Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari
orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun
tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat, maupun
berorganisasi.
Desa Adat terdiri dari
kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
keluargganya.Setiap keluarga menempati Karang
Ayahan Desa, yang
disebut karang sikut satak. Disinilah
setiap KK bebas mengatur keluarganya. Pola Kehidupan mereka tank lepas dari
pola Tri Hita Karana, hal ini dapat dilihat dari Karang Sikut Satak yang ditempati. Secara umum penempatan
bangunan di karang itu berpolakan: Utama
Mandala, tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para
Leluhur, letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan. Madya
Mandala tempat untuk membangun rumah, Balai Delod, Dapur, Kamar Mandi, Lumbung
dan bangunan lainnya.
Nista
Mandala tempat
membangun Kori Agung,Candi Bentar,
Angkul-angkul tempat masuk ke pekarangan sikut satak. Di luar pekarangan
sikut satak namanya teba. Di
teba inilah tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman
seperti kelapa, pisang, nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai
ekonomis. Di tempat ini pula anggota keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam,
itik, kambing dan peliharanaan lainnya, sebagai wujud pelestarian lingkungan.
Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berkiblat kepada
ajaran dari falsafah Tri Hita Karana, dan telah tercermin dalam hidup harmonis
di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, bahkan terhadap para
wisatawan yang berkunjung ke Bali.
2.2 Konsep Ajeg Bali
Secara
harfiah, kata “ajeg” bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau
disandingkan, kata “ajeg” dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak
goyah. Menurut Wijaya dalam
penelitiannya “Ajeg Bali” merupakan
semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas kebalian orang Bali,
yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan,
yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. Ajeg Bali adalah upaya sepihak
para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan berbicara
oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga
kebudayaan Bali. Menurut Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan “Ajeg Bali”,
di antaranya diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi,
komoditifikasi, sentimen, resesif, desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi,
reproduksi, serta adverse. pemikiran tentang “Ajeg Bali” bukan berlandaskan
pada realitas ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan bersifat artifisial dan
ahistoris yang mengakibatkan terjadinya pertemuan timbal balik dan dialektis
antara intelektual dan masyarakat. Padahal, penataan Bali semestinya dilakukan
dengan cara terlebih dahulu mengganti sistem kebudayaan Bali dari yang
berorientasi ke masa lampau menjadi ke masa depan.
Beberapa
praktisi agama dan rohaniwan Hindu yang concern dan komit terhadap
ajaran Hindu yang lebih universal, misalnya, memberikan makna ajeg Bali atau
Ajeg Hindu sebagai upaya pemurnian pelaksanaan ajaran Hindu yang
bersumber dari Weda dengan menekankan pada jiwa ajeg Bali atau inner
power agama Hindu itu sendiri, yaitu tapas, yadnya, dan dharma (Agastya,
2004) dalam Kertih dan Sukadi. Tidak jauh berbeda dari pandangan ini. Menurut Seita
(2004) dalam Kertih dan Sukadi, sebagai pengamat sosial, budaya, dan agama
Hindu Bali yang berdomisili di Jakarta, menyatakan bahwa konsep ajeg Bali
haruslah memiliki makna sebagai lestarinya agama Hindu yang lebih universal,
yang bersumber dari ajaran Weda. Tidak ketinggalan, para seniman dan budayawan
besar Bali juga berkomentar bahwa ajeg Bali harus dimaknai sebagai upaya pengembangan
kehidupan berkesenian orang Bali sebagai inti persembahan kepada kemegahan dan
keindahan Tuhan yang memungkinkan orang Bali Hindu berkereativitas dalam
pengembangan budaya untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri cultural (cultural
confidence) (Erawan, 2004; Geriya, 2004) dalam Kertih dan Sukadi.
2.3 Budaya Bali
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan
didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan
pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku
dan tindakan-tindakannya.
Selain itu kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan
merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial,
yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi
berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan
simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak
(termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian,
setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya
tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh
pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan
yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
2.3.1 Unsur – Unsur Budaya
Bali
A.
Bahasa
Bali
sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar
masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah
bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh
kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga
yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali
Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.
B.
Pengetahuan
Banjar
atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social
yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh
kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang
bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan
keagamaan tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup
hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
C. Teknologi
C. Teknologi
Masyarakat
Bali telah mengenal dan berkembang sistem pengairan yaitu sistem subak yang
mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal
arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai
bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan
edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris.
Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam
air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
D. Organisasi
Sosial
a).
Perkawinan
Penarikan
garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System
kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena
seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih
rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat
malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
b).
Kekerabatan
Adat
menetap di Bali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu
masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku di Bali yaitu adat
virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat
kediaman kaum kerabat suami dan adat neolokal adalah adat yang menentukan
pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada tiga (3)
kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara,
Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu
sebagai pemimpin keagamaan.
c).
Kemasyarakatan
Desa
sebagai suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2
pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan
suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat
istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat
terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat
pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
E. Mata
Pencaharian
Pada
umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada
dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi
sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat
maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi
kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan,
pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan
lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali
maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.
F. Religi
Agama
yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari
jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam,
Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah
untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin. Orang Hindu
percaya dengan adanya satu (1) Tuhan. Manifestasi Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi
Wasa) dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud
Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat
beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sanggah.
Kitab suci agama Hindu adalah Weda.
Orang
yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap
sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari
ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara
pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya
pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu
ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh,
dan siwa ratri.
Pedoman
dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat
agama),
(2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca
yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa
dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur.
(3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi
yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya
yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
G. Kesenian
Kebudayaan
kesenian di bali di golongkan menjadi tiga (3) golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni
lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni
sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan
film.
2.3.2 Nilai-Nilai Budaya
Bali
1. Tata krama :
kebiasaan sopan santun yang
di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin :
gotong
royong.
2. Ngayah
atau ngayang :
kerja
bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun :
adat
hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang
berbeda
jenis kelamin (laki/perempuan)
2.4 Mewujudkan Ajeg Bali
Melalui Tri Hita Karana
Beragam
pendapat masyarakat Bali terhadap kondisi Bali yang sekarang terjadi akibat perkembangan
arus globalisasi yang begitu pesat. Sebagian beranggapan bahwa globalisasi
merupakan “polusi kebudayaan” yang akan mengikis ke-Bali-an Bali. Dengan adanya
pengaruh globalisasi yang begitu deras hingga konsep “ajeg Bali” muncul di
tengah-tengah masyarakat sebagai respon terhadap perubahan yang muncul di masyarakat
berkat kemajuan teknologi. Istilah “ajeg” merujuk kepada pengertian stabil , tetap,
dan konstan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) disebutkan bahwa “ajeg”
atau “ajek” (Jawa) bermakna tetap; tidak berubah. Satu hal yang tetap dalam
kebudayaan adalah perubahannya. Yang ingin dipertahanakan oleh masyarakat Bali
adalah nilai, yaitu agama Hindu yang menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali.
Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan keemasan, namun esensinya
harus tetap bertahan.
Ajeg Bali meliputi berbagai hal di
Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya, niaga, politik,
lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan,
pendidikan, pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat.
Dalam sistem persubakan, misalnya, dilakukan “sterilisasi” wilayah subak dari
pembangunan perumahan untuk melestarikan kondisi ekologis sekitar subak.
Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur, ditanamkan semenjak kanak-kanak
dan merupakan bentuk ajeg Bali. Di sekolah perlu dikembangkan
program pendidikan yang dapat memberdayakan siswa dalam ikut berpartisipasi
mewujudkan nilai-nilai “Tri hita
Karana” dalam hubungannya dengan
bagaimana menjaga Bali sekarang dan kedepan karena mereka nanti sebagai pewaris
tanah Bali. Kesadaran itu penting karena Bali
yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai
terusik. Faktanya tanah Bali yang merupakan bagaian dari tanah adat makin banyak
berpindah tangan. Jumlah pendatang (terutama dari Jawa) semakin menjadi
ancaman, peluang kerja orang Jawa cukup banyak sementara masyarakat Bali sibuk
dengan banyaknya upacara, orang Jawa mengambil alih waktu-waktu tersebut di
sektor ekonomi.
Ajeg Bali terinspirasi oleh
nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam ajaran “Tri
Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga
konsep tersebut adalah Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan
(hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia
dengan alam). Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga
tataran, yaitu dalam tataran individu ; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan
manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence)
yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata.
Kedua, dalam tataran lingkungan kultural; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah
ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif
terhadap pengaru-pengaruh luar. Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg
bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup budayanya guna melahirkan
produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang
berdasarkan nilai-nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu
maupun godaan dunia modern), non-dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural,
dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang
mendalam. Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah
sebuah konsep yang stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus-menerus yang
dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta
proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global.
Tradisi
budaya Bali tidak bisa dipisahkan dengan Agama Hindu. Sebelumnya harus
dipisahkan soal “adat keagamaan” dan “adat kebiasaan”. Sayangnya keseluruhan
hidup masyarakat Bali, termasuk adat kebiasaan, merupakan bentuk representasi
dari agama Hindu, sehingga sulit sekali untuk membedakan sakral dan profan.
Dalam tari-tarian, dapat dipisahkan secara jelas terdapat seni tari wali yang
sakral dan religius, seni tari Bebali adalah tarian seremonial, dan seni tari
Balih-balihan yang sekuler. Pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah
terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan hal
tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang
selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Kalau kita
berpikir sederhana, selama ada canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga
dan dupa), nilai-nilai agama hindu yang merupakan core of the culture, akan
tetap bernafas tenang dalam kehidupan manusia Bali.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Ajeg
Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang
diwujudkan dalam ajaran “Tri Hita Karana”. Penerapan nilai-nilai Tri Hita
Karana secara sadar, dinamis, dan penuh dengan komitmen akan terbangun
proses hubungan kehidupan yang seimbang dan harmonis menuju tatanan
kehidupan yang Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera lahir dan bhatin yang bermuara
pada ajeg Bali.
3.2 Saran
Untuk menjaga Bali tetap Ajeg, maju,
damai, sejahtrera dan tetap eksis sepanjang zaman diharapkan adanya komitmen
yang kuat dari semua komponen masyarakat Bali dengan berlandaskan konsep “ Tri
Hita Karana” untuk menjaga dan mengajegkan Bali, karena Bali bukan milik orang
yang hidup sekarang di Bali tapi lebih dari semua itu, Bali adalah titipan dari
Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) untuk anak cucu (keturanan)
kita kelak nanti.
Oleh :
I Putu Kusuma Wardana
Mahasiswa Program Pascasarjana Undiksha
Tenaga Pengajar di Sekolah Laboratorium Undiksha Singaraja
DAFTAR PUSTAKA
Dalem,
A.A.G Raka (2007). Sistem Manajeman
Lingkungan, Tri Hita Karana dan Implementasinya Pada Hotel. Jurnal
Penelitian UNUD
Kertih dan Sukadi. (2007). Konsep
Ajeg Bali (Hindu) Berbasis Ideologi Trihita
Karana Dimaknai Di Lingkungan Sekolah.
(Studi
Etnografi Pendidikan pada SMA Negeri 1 Ubud Bali
sebagai Model SMA Berwawasan Hindu) .Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora
Undiksha
Prabhavananda,
Swami. (2006) (alih bahasa oleh I Nyoman Ananda). Agama Veda dan Filsafat. Surabaya: Paramita.
Wiana,
I Ketut. (2004). Mengapa Bali disebut
Bali ?. Surabaya: Paramita.
Wiana,
I Ketut. (2004). Bagaimana Umat Hindu
Menghayati Tuhan. Jakarta: Pustaka Manik Geni.
Widana,
I Gusti Ketut. (2002). Mengenal Budaya
Hindu di Bali. Denpasar: PT. BP Denpasar.
________,
www.google.co.id